Apa kata Ali tentang
nikah mut’ah? Barangkali ada yang telah membacanya dari kitab-kitab sunni, ini
hal biasa, tetapi kali ini kami nukilkan dari kitab syi’ah. Sebenarnya
bagaimana hukum nikah mut’ah menurut Ali? Saya mengajak pembaca menyimak titah
imam syiah yang dianggap maksum. Anda akan mendapat informasi berharga.
Bagi syiah Ali adalah
sosok imam maksum, suci tanpa cela. Titahnya harus ditaati, mengingat posisinya
sebagai imam di mata syiah, yang meyakini bahwa imam adalah penerus dari
kenabian. Sedangkan posisi Ali adalah imam pertama setelah Nabi wafat, yang
konon dilantik sendiri oleh Rasulullah.
Bagi Syiah, Ali-lah
orangnya yang ditunjuk untuk menjadi penerus misi kenabian, beserta sebelas
orang anak cucunya. menjadi penerus kenabian artinya meneruskan lagi misi
kenabian, yaitu menyampaikan risalah Allah pada manusia di bumi. Tentunya
ketika menyampaikan misinya tidak berbohong dan tidak keliru, karena para imam
–menurut syiah- adalah maksum, terjaga dari salah dan lupa, maka tidak mungkin
keliru dalam menyampaikan amanat risalah, juga tidak mungkin berbohong ketika
menyampaikan hadits Nabi.
Salah satu hal
aksiomatis dalam mazhab syiah adalah nikah mut’ah, seperti dinyatakan oleh Al
Hurr Al Amili dalam Wasa’ilu Syi’ah jilid 21 hal 13. Al Amili mengatakan :
bolehnya nikah mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”. Bukan Al
Hurr Al Amili sendirian yang menganggap bolehnya nikah mut’ah adalah hal
aksiomatis dalam mazhab syiah, Al Majlisi juga menyatakan demikian: beberapa
hal yang termasuk perkara aksiomatis dalam agama syi’ah, kata Majlisi, adalah
menghalalkan mut’ah, haji tamattu’ dan memusuhi Abubakar, Umar, Utsman dan
Muawiyah. Bisa dilihat dalam Al I’tiqad hal 90-91.
Yang disebut
aksiomatis adalah hal penting yang harus diyakini oleh penganut syiah.
Begitulah penganut syiah di masa lalu, hari ini dan sampai akhir nanti akan
terus meyakini bolehnya nikah mut’ah. Sesuatu bisa menjadi aksiomatis dalam
syiah mestinya karena sudah digariskan oleh para imam syiah yang 12, yang
menjadi rujukan syiah selama ini dalam penetapan hukum, paling tidak itulah
pengakuan syiah selama ini, yaitu mereka merujuk pada penjelasan para imam.
Apalagi imam pertama mereka setelah Nabi yaitu Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi
yang – lagi-lagi menurut syiah- paling mengetahui ajaran Islam dibanding
sahabat lain.
Demikian pula syiah di
Indonesia, mereka meyakini bolehnya mut’ah, dan menyebarkan hal itu pada
penganut syiah. hingga akhirnya praktek mut’ah marak di mana-mana, dengan keyakinan
bahwa mut’ah adalah ajaran keluarga Nabi yang boleh dikerjakan. Di sini pelaku
mut’ah mendapatkan tiga kenikmatan, yang pertama kenikmatan melakukan “ajaran”
keluarga Nabi, yang pasti mendapatkan pahala dengan melakukannya, yang kedua,
kenikmatan hubungan seksual, melampiaskan hasrat yang telah digariskan Allah
pada manusia. Sementara yang ketiga, bisa berganti-ganti pasangan, karena
mut’ah adalah praktek pembolehan hubungan seksual antara laki-laki dan wanita
untuk sementara waktu. Pembaca –yang laki-laki tentunya- bisa membayangkan
betapa nikmatnya.
Ahlussunnah menganggap
nikah mut’ah adalah haram sampai hari kiamat, meskipun pada beberapa saat
pernah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Pengharaman ini berdasarkan keterangan
dari Rasulullah SAWW sendiri yang mengharamkannya. Beberapa tahun kemudian Umar
menyampaikan pengharaman tersebut pada para sahabat Nabi ketika menjabat
khalifah. Namun syi’ah selalu menghujat ahlussunnah yang dalam hal ini
mengikuti sabda Nabi, dan menuduh Umar –lah- yang mengharamkan nikah mut’ah,
bukan Nabi. Artinya di sini Umar telah mengharamkan perbuatan yang halal
dilakukan. Dan hujatan-hujatan lainnya, yang intinya adalah Rasulullah tidak
pernah mengharamkan mut’ah, karena yang mengharamkan adalah Umar mengapa kita
mengikuti Umar dan meninggalkan apa yang dihalalkan oleh Rasulullah SAWW? Dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Namun ada yang janggal
di sini, ternyata Ali malah dengan tegas meriwayatkan sabda Nabi tentang
haramnya nikah mut’ah. Riwayat ini tercantum dalam kitab Tahdzibul Ahkam karya
At Thusi pada jilid 7 halaman 251, dengan sanadnya dari :
Muhammad bin Yahya,
dari Abu Ja’far dari Abul Jauza’ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari
Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda:
Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah
mut’ah.
Bagaimana perawinya?
Kita lihat bersama dari literatur syiah sendiri:
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]
Muhammad bin Yahya : dia adalah tsiqah, An Najasyi mengatakan dalam kitabnya [no 946] : guru mazhab kami di jamannya, dia adalah tsiqah [terpercaya]
Abu Ja’far , Tsiqah
[terpercaya] lihat Al Mufid min Mu’jam Rijalil Hadits
Abul Jauza’, namanya
adalah Munabbih bin Abdullah At Taimi , haditsnya Shahih lihat Al Mufid
min Mu’jam Rijalil Hadits
Husein bin Alwan,
Tsiqah [terpercaya], lihat Faiqul Maqal, Khatimatul Mustadrak, dan Al Mufid min
Mu’jam Rijalul Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Amr bin Khalid Al Wasithi: Tsiqah, lihat Mu’jam Rijalil Hadits, Mustadrakat Ilmi Rijalil Hadits.
Zaid bin Ali bin
Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu ahlul bait Nabi, jelas tsiqah.
Di sini Ali mendengar
sendiri sabda Nabi dan menyampaikannya pada umat. Menghadapi riwayat ini
mungkin kita bingung, ternyata bukan anda saja yang bingung, saya pun ikut
kebingungan karena dua hal:
Pertama,
bagaimana ulama syiah dan ustadz syiah tidak menyampaikan hal ini pada umatnya?
Hingga umatnya dengan suka ria melakukan mut’ah yang memang mengasyikkan. Kita
mempertanyakan apakah mereka tidak membaca riwayat ini? Ataukah mereka
membacanya tetapi tidak menjelaskan pada umat tentang kenyataan ini? Atau
kenyataan ini tidak sesuai dengan kepentingan mereka, karena tidak dipungkiri
lagi bahwa bolehnya nikah mut’ah membuka kesempatan bagi syiah guna
menghilangkan kebosanan dan menambah variasi dalam hubungan seksual. Ketika
orang hanya berhubungan dengan istrinya, maka bukan tidak mungkin suami bosan
dengan istrinya, dan dengan mut’ah suami bisa mencari variasi dengan pasangan
yang berbeda, baik dengan daun-daun muda, maupun janda-janda muda yang
kesepian. Dan hubungan ini tidak mengakibatkan konsekuensi apa pun, kecuali
kesepakatan tentang uang jasa dan jangka waktu mut’ah. Bisakan kita percaya
para ustadz syiah dan santri-santri muda syiah belum membaca riwayat ini?
saya teringat ayat Al
Qur’an, yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat mela’nati, (QS. 2:159)
Kecuali mereka yang
telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka
terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. (QS. 2:160)
Kedua, ketika para
ulama syiah menghadapi hadits shahih dari Nabi maupun imam yang tidak sesuai
dengan mazhab syiah, mereka mengatakan bahwa Nabi atau imam mengatakan hadits
itu dalam kondisi taqiyah, artinya yang disabdakan tidaklah benar adanya.
Misalnya hadits ini, ketika ulama syiah tidak mampu menolak hadits ini
karena sanadnya yang shahih, maka mereka mengatakan bahwa hadits ini disabdakan
dalam kondisi taqiyah. Maksudnya adalah Nabi sebenarnya tidak mensabdakan
hadits ini tetapi Ali bertaqiyah hingga menyebutkan hadits ini.
Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan:
Al Hurr Al Amili dalam Wasa’il menyatakan:
“Syaikh [At Thusi] dan
[ulama] lainnya menafsirkan riwayat ini sebagai taqiyyah, karena bolehnya nikah
mut’ah adalah perkara aksiomatis dalam mazhab syiah”
Kita perlu
mempertanyakan mengapa sabda Ali tidak sesuai dengan ajaran syiah, itu dianggap
sebagai taqiyah. Tetapi kita ketahui bahwa taqiyah tidak mungkin dilakukan
tanpa sebab, yaitu ketakutan. Lalu apa yang Imam Ali takutkan hingga bertaqiyah
dalam masalah ini? Apakah kita mempertanyakan kembali sifat pemberani Ali bin
Abi Thalib karena di sini digambarkan takut untuk menyampaikan kebenaran?
Juga kita
mempertanyakan sumber informasi Syaikh At Thusi dan ulama syiah lainnya hingga
mereka tahu bahwa imam Ali bertaqiyah ketika meriwayatan sabda Nabi itu. Jika
tidak ada informasi yang valid apakah kita mengatakan bahwa ulama syiah
hanya mengira-ngira saja, tanpa berdasari informasi yang valid. Hanya dengan
satu alasan, yaitu menyelisihi hal yang aksiomatis dalam mazhab lalu begitu
saja sabda imam bisa divonis taqiyah.
Satu lagi konsekuensi
berat bagi ulama syiah yang menyatakan bahwa Ali bertaqiyah dalam hadits itu,
berarti Ali mengarang-ngarang hadits Nabi SAWW padahal Nabi SAWW tidak pernah
mengucapkannya. Karena pernyataan Ali di atas adalah riwayat,bukan pendapat Ali
sendiri, tapi menceritakan sabda Nabi SAWW. Perbuatan ini dikenal dalam istilah
hadits dengan “berdusta atas nama Nabi”. Sedangkan perbuatan berdusta atas nama
Nabi adalah perbuatan dosa besar, Kitab Tafsir Surat Al Hamd karya Muhammad Baqir
Al Hakim –ulama syiah Irak- pada hal. 40 memuat sebuah riwayat yang panjang
dari Ali, yang dinukil dari Wasa’ilu Syi’ah –karya Al Hurr Al Amili-, dalam
riwayat itu Ali menukil sabda Nabi:
siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.
siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja hendaknya menyiapkan tempatnya di neraka.
Hadits ini juga
dinukil oleh As Shaduq dalam Al I’tiqadat hal 119-120, juga tercantum dalam Al
Ihtijaj jilid 1 hal 394.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.
Apakah Ali mengarang hadits Nabi SAWW hingga harus bersiap-siap masuk neraka? Atau Ali mendengar sabda Nabi dan menyampaikannya sesuai yang didengarnya? Saya tidak percaya Ali berdusta atas nama Nabi SAWW, juga mestinya syiah –yang percaya Ali adalah maksum- tidak percaya bahwa Ali telah berdusta.
Maka jelaslah Ali
mengikuti sabda Nabi SAWW, bahwa nikah mut’ah adalah haram dilakukan saat ini,
meskipun pernah dihalalkan oleh Nabi dalam beberapa kondisi, yaitu dalam
kondisi perang. Tetapi syiah saat ini menghalalkan mut’ah dalam segala kondisi,
tidak hanya ketika kondisi perang. Ini bedanya nikah mut’ah yang pernah dibolehkan
pada jaman Nabi SAWW dan mut’ah yang menjadi sebuah aksioma dalam mazhab syiah
hari ini.
Dengan ini muncul
keraguan dan pertanyaan tentang hubungan mazhab syi’ah hari ini dengan Ali bin
Abi Thalib. Rupanya memang tidak semua omongan orang sesuai dengan kenyataan.
COntohnya syiah yang selalu mengaku mengikuti Ali, tetapi kenyataannya sungguh
berbeda. Ternyata hal aksiomatis dalam mazhab syiah berbeda dengan ajaran Ali
bin Abi Thalib/
Saya ingatkan para
pembaca tentang kenikmatan sorga beserta bidadari-bidadari yang menyambut
penghuninya, beserta isteri-isteri sorga. Tentunya kenikmatan “jannah” lebih
menggairahkan dibanding kenikmatan dunia. Allah berfirman dalam surat Yasin
yang terjemahnya sebagai berikut:
Sesungguhnya penghuni
jannah pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (QS. 36:55)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)
Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertekan di atas dipan-dipan. (QS. 36:56)
Ayat di atas
menceritakan penghuni sorga bersenang-senang dalam kesibukan bersama isteri
mereka. Kira-kira apa kesibukan penghuni sorga hingga membuat mereka
gembira, yang dilakukan bersama istri di atas dipan? Pembaca pasti tahu
jawabnya!
0 komentar:
Posting Komentar