Tags: cerita motivasi (1200), cerita islami (261), cerita hikmah (104), cerita nasehat (313), cerita teladan (334), kumpulan cerita motivasi (203), kisah islami(247), kisah teladan (331), kisah hikmah (110), kumpulan kisah teladan (263), artikel motivasi (2011), artikel islam (105), artikel kesehatan (211), kumpulan artikel motivasi (300), berita islami (2012), motivasi islam (2010),artikel kesehatan (500)
Siang
sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai saya di
depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama.
Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga
mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu
sudah pulang" itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya
mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba'da
Ashar, "Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya
angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya.
"Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya
"Eh,tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember
putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya
memindahkannya ke
halaman
depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan Ibu. Subur
dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu
ba ru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar yah"
pinta Ibu. "Eh,bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang
Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta
bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok
wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang dari
ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu,
siapa itu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang"
pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka
mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah
tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua
pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya membaca al-qur'an
selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang terbuat dari
kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-qur'an. Dan
mata ini memandang lekat pada jemarinya. Ke riput, urat-uratnya menonjol
jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun. Tangan itu terus bergetar.
Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di
kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang ia minta sejak saya pulang,
karena tangannya tak lagi paripurna melakukan banyak hal? "Dingin"
bisik saya, sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu
masih terus mengaji, sedang tangan kirinya membelai kepala saya. Saya
memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak
berhingga.
Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri
di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara
mushala kecil rumah. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan
seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh
Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon. "Neng..." suara ibu
membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya,
kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan
menciumnya.
"Tangan ibu
kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu tersenyum manis
sekali. "Penyakit orang tua. Sekarang tangan ibu hanya mampu melakukan
yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.
Udara
semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan
langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras depan rumah.
Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan beranjak jauh.
Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat
isya tadi.
Apa
maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak hal yang
dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah mencubit,
sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan yang
selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika saya
tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut
ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya ber gemuruh.
Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian
yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil
yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu
saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh darinya,
suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat saya
mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n dan m
nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan sambung.
Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya sendiri.
Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau ada lah Sinopsis semesta
Itu saja...
Tangan
ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah
buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah
perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan ..
Pernahkah
ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk
sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan
anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat
tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan
tangannya? Pernahkah..?
Ketika akan
meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke
jakarta, biar dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di
banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang
seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak
ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih
pasrah,
menyerahkan
semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali
punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang
pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya
masih ada tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh
takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di
kening.
*IBUMU adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan bliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan*
0 komentar:
Posting Komentar