Tags: cerita motivasi (1200), cerita islami (261), cerita hikmah (104), cerita nasehat (313), cerita teladan (334), kumpulan cerita motivasi (203), kisah islami(247), kisah teladan (331), kisah hikmah (110), kumpulan kisah teladan (263), artikel motivasi (2011), artikel islam (105), artikel kesehatan (211), kumpulan artikel motivasi (300), berita islami (2012), motivasi islam (2010),artikel kesehatan (500)
Sudah pasti jawabannya adalah : k-e-h-a-m-i- l-a-n.
Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, Seberat apa pun langkah
yang mesti diayun, Seberapa lama pun waktu yang harus dijalani, Tak
kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan:
p-o-s-i-t-i- f.
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih
dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda
baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di
perutnya. Seringkali ia bertanya : menangiskah ia? Tertawakah ia?
Sedihkah atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba,
tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika itu
mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa
terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna, ketika mendengar tangisan
pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus
bercucuran.
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar. Tak ada yang lebih
membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Tak satu pun tema yang
paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat,
kerabat maupun keluarga, kecuali anak.
Si kecil baru saja berucap "Ma?" segera ia mengangkat telepon untuk
mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru pertama
berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit
takut si kecil terjatuh dan luka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan
langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus
menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak
terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di
tengah jalan. "Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia
berada di pasar berbelanja keperluan si kecil.
Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus
beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam
setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak
berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuk
dirinya sendiri dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru
kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan,
demi anak. Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba
terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Beli
susu anak; 2. Uang sekolah anak. Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan
yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi
prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan
susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun
akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah
dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi
babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri
salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya
ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau
musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor
kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk
makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari
kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak
lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman
harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar
untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga
terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya,
ia pun terus mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan
anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. Tak satu pun yang paling
ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta
kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar.
saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap
ia timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang dewasa
yang bisa saja membeli makan siangnya sendiri di Sekolahnya.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan
terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama
pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu
menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air
mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke
kursi pelaminan. Ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut
gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati yang bertahun-tahun
menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu
hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, "Masihkah
kau anakku?"
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara
tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir.
Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "Bila ibu
meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan
sambil dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia
meminta dari salah satu anaknya. "Agar tak percuma ibu mendidik kalian
menjadi anak yang shalih & shalihat sejak kecil," ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin
saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah
mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cinta saya, Ibulah
sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran, yaitu "cinta". Sekolah
yang hanya punya satu guru yaitu "pecinta". Sekolah yang semua
murid-muridnya diberi satu nama: "anakku tercinta".
0 komentar:
Posting Komentar